Tradisi teut karbet atau meriam karbit di Kabupaten Pidie, Aceh.

SETIAP 1 Syawal, umat Islam di seluruh dunia merayakan hari raya Idul Fitri yang dalam bahasa lokal Indonesia disebut dengan “lebaran”. Takbir, tahlil dan tahmid menggema di seluruh penjuru dunia sebagai rasa syukur kepada Allah Swt sebagai sebagai wujud kemenangan setelah selama satu bulan penuh melaksanakan ibadah puasa Ramadhan dengan menahan lapar, dahaga dan bergulat mengendalikan hawa nafsu.

Hari kemenangan tersebut seperti yang baru saja dirayakan oleh umat Islam, sangat dinanti-nantikan oleh kaum muslimin. Di sisi lain, di hari Idul Fitri kita merasa bersedih karena berpisah dengan Ramadhan, bulan yang penuh ampunan dan rahmat, serta dibukanya pintu-pintu surga. Idul Fitri menjadi simbol berakhirnya puasa Ramadhan, dan kaum muslimin yang telah menjalankan ibadah puasa dianggap telah kembali kepada keadaan suci (fitri) yang diakhiri melalui penunaian ibadah zakat fitrah.

Beragam ekspresi dilakukan umat muslim untuk menyemarakkan lebaran. Sudah menjadi hal biasa dalam menyambut hari raya keagamaan, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Dalam merealisir ekspresi kemenangan tersebut, seperangkat tradisi pun bermunculan seperti membagi-bagi parcel, Tunjangan Hari Raya (THR), menyediakan aneka kue, salam tempel untuk anak-anak, saling berkunjung, mudik, mengenakan yang serba baru. Bahkan khusus di Pidie, ada perayaan “perang saudara” melalui meriam bambu (tot beude trieng). Seakan seperangkat hal tersebut seperti wajib ada dalam perayaan lebaran. Masyarakat seakan tidak peduli dengan berapa biaya anggaran yang harus dikeluarkannya.

Tradisi khas
Beragammya ekspresi perayaan Idul Fitri di Indonesia merupakan cerminan keberhasilan proses islamisasi yang dimulai sejak abad ke-13 merupakan hasil dari kebijakan toleransi yang diberikan Islam terhadap kebudayaan setempat, sehingga wajah Islam di Indonesia berbeda dengan wajah Islam wilayah lainnya di dunia. Inilah tradisi khas lebaran di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia.
Ciri dan tradisi khas inilah yang menyebabkan Islam di kawasan Nusantara unik dan mempunyai warna tersendiri. Tapi ini sama sekali tidak bertentangan dengan fondasi dasar Islam. Tradisi yang sering dilakukan dalam merayakan lebaran di Indonesia ialah takbir keliling, baik dengan menggunakan kendaraan maupun berjalan kaki. Di beberapa daerah takbir keliling menjadi festival yang rutin dilombakan setiap tahunnya.

Selain takbir keliling, mudik (pulang kampung) menjelang hari lebaran sudah menjadi tradisi umat Islam di Indonesia, termasuk di Aceh. Orang desa yang tinggal di kota sengaja pulang ke kampung halaman masing-masing untuk merayakan hari kemenangan Idul Fitri bersama sanak keluarga sekaligus menyambung silaturrahmi. Mudik membawa berkah bagi orang lain, biasanya pemudik yang sukses di rantauan saling berbagi rezeki dan pengalaman serta mengajak famili atau anak-anak muda di kampung mereka untuk ikut merantau (Lailatussaadah, Kondisi Sosial dan Kemasyarakatan Gampong Aree dalam buku Balee Beut Ummi).

Khusus di Aceh, terdapat tradisi yang sudah turun-temurun dilakukan, yaitu tradisi meugang. Tradisi meugang menjelang puasa Ramadhan maupun lebaran bukanlah fenomena aneh di Aceh. Banyak pedagang yang menjual daging sapi dan kerbau. Tak hanya di pasar, mereka juga menjual di kampung-kampung dan pinggir jalan. Membeli daging meugang dalam masyarakat Aceh menjadi suatu keharusan meskipun harga daging sangat mahal, tembus angka Rp 170 ribu per kg. Jauh di atas harga yang diharapkan Presiden Jokowi yaitu di bawah Rp 80 ribu per kg.
Beda rasanya Idul Fitri di masa lalu dengan sekarang. Jika kita melihat jauh ke belakang, perayan Idul Fitri di masa lalu sangat sederhana, terutama pada masa awal mula syiar Islam. Seiring berjalannya zaman, ekspresi perayaan Idul Fitri terus berubah. Pengaruh globalisasi pun memberi warna baru pada ekspresi perayaan lebaran.

Pengaruh globalisasi
Di antara ekspresi menyambut lebaran yang telah dipengaruhi oleh globalisasi ialah bermain petasan. Jauh-jauh hari sudah ada imbauan dan razia oleh aparat keamanan untuk tidak menjual dan bermain petasan, namun petasan tetap saja muncul di sana-sini. Identik dengan petasan, tradisi perang meriam bambu (beude trieng) dan meriam karbit (teut karbet) semarak di beberapa daerah di Aceh, terutama Kabupaten Pidie.
Tradisi-tradisi tersebut merupakan tradisi yang tergolong mubazir, dan mubazir adalah perbuatan setan. Alangkah indahnya jika tradisi-tradisi yang tergolong mubazir itu dialihkan dengan membantu orang-orang yang kurang mampu dan kurang beruntung dalam hal ekonomi, sebagaimana hadis Nabi saw, “Kayakanlah mereka (orang-orang fakir miskin) hingga mereka tidak meminta-minta pada hari ini (Idul Fitri)”.

Oleh karenanya, melalui momentum Idul Fitri yang baru saja kita rayakan itu, sudah sepatutnya kita menumbuhkan semangat berbagi dan memberi melaui infak dan sedekah serta kewajiban berzakat, sehingga dapat meningkatkan rasa persaudaraan dan kebersamaan sesama muslim. Tentu saja dengan mengalihkan dana yang disediakan untuk tradisi yang tergolong mubazir itu akan membawa pahala di akhirat kelak.

Akhirnya, mari kita sambut hari raya idul fitri dengan cara-cara positif sambil tetap mempertahankan tradisi khas Islam Nusantara, seperti mudik, meugang, baju baru, silaturrahmi, dan bagi-bagi angpow (amplop) bagi anak-anak dan fakir miskin. Pada sisi lain, mari kita tinggalkan budaya mubazir dan pongah seperti main petasan, kembang api, tot bude trieng dan karbit. Semoga!

* Ahmad Zaki Husaini, alumnus Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry, penulis buku Geografi Islam bersama Hasan Basri M. Nur. Email: ahmadzaki567@gmail.com

0 comments so far,add yours