Tarian Tradisional Aceh yang Menggunakan alat musik rapa-i
Tarian Tradisional Aceh yang Menggunakan alat musik rapa-i

PEMERINTAH Aceh melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh telah menggelar Aceh Internasional Rapa-i Festival, di pengujung Agustus lalu. Even yang digelar selama sepekan ini diikuti oleh seniman lokal, Nasional dan mancanegara. Aceh Internasional Rapa-i Festival ini merupakan bagian dari upaya pemerintah mempromosikan budaya dan wisata Aceh kepada dunia internasional, serta bukti kerja nyata pemerintah Aceh untuk melestarikan kesenian tradisi Aceh. Mudah-mudahan di tahun selanjutnya festival ini terus berlangsung.

Rapa-i adalah satu alat musik tabuh khas Aceh. Masyarakat Aceh telah menggunakan alat musik rapa-i jauh sebelum datangnya agama Islam ke Aceh. Di masa budaya Hindu-Budha tempo doeloe di Aceh, rapa-i digunakan pada upacara-upacara keagamaan dan adat. Selanjutnya pada abad ke-13 Masehi seni tradisional lokal ini digunakan oleh pendatang muslim sebagai media untuk berdakwah.

Sebagaimana kita ketahui, ekspansi (perluasan) Islam ke kawasan Nusantara berbeda dengan ekspansi ke wilayah-wilayah lain di muka bumi. Kalau ke wilayah lain, terutama di Timur Tengah, Andalusia (Eropa) dan Asia Tengah, perluasan Islam lebih banyak dilakukan melalui pendekatan temporal atau kekuasaan politik. Akan tetapi, perluasan Islam ke semenanjang Melayu dilakukan melalui pendekatan-pendekatan budaya dengan mengadopsi kearifan lokal yang sudah ada.
Juru dakwah periode awal sama sekali tidak mempersoalkan budaya lokal tapi memanfaatkannya dengan sedikit modifikasi agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam. Dengan pendekatan kearifan lokal ini, Islam menjadi mudah diterima dan tanpa konflik sampai kemudian Islam tersebar ke seluruh bumi Melayu dan Aceh berperan sebagai gerbangnya.

Alat musik rapa-i kemudian dipopulerkan oleh seorang penyiar agama Islam bernama Syeh Rapi dari Baghdad (Irak) yang datang ke Aceh untuk mendakwahkan ajaran agama Islam (Z.H. Idris, et al, 1993). Pada masa-masa awal Islam, kesenian memang memiliki peran besar dalam proses islamisasi, terutama di wilayah Nusantara dimana masuknya Islam di kawasan ini lebih mengedepankan pendekatan budaya yang dilakukan oleh pedagang muslim, dan juga juru dakwah.

Pesan tersirat
Di masa sekarang, rapa-i menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Aceh, khususnya dunia tari dan musik tradisional. Rapa-i dimainkan dalam berbagai kesempatan, seperti pada upacara perkawinan dan memperingati hari-hari tertentu.

Di balik dentuman gemuruh rapa-i terkandung berbagai nilai yang dapat kita ambil manfaatnya. Rapa-i tidak hanya sekadar dipukul dan dinikmati sebagai sebuah permainan seni, namun ada pesan-pesan tersirat yang terkandung di dalamnya.


Di antara pesan-pesan di balik gerak pemain rapa-i ialah sabar, kekompakan, dan pesan saling tolong-menolong. Ketiga hal ini memiliki kaitan yang tidak mungkin dipisahkan dari permainan rapa-i.

Jika dilihat dari segi bentuk, rapa-i berbentuk bulat melingkar. Bulat atau lingkaran rapa-i bermakna sepakat. Garis lingkaran tidak memiliki awal atau akhir menandakan bahwa semua pemain rapa-i saling berkaitan. Jika saat memainkan rapa-i semuanya bagus dan tanpa kesalahan maka baguslah permainan rapa-i, namun jika ada salah seorang saja yang membuat kesalahan maka dapat membuat kacau yang lainnya, sehingga permainan rapa-i tampak rusak.
Dari sudut permainan, rapa-i tidak hanya dimainkan secara tunggal, namun dapat pula dikolaborasikan dengan alat musik lain, seperti seurune kalee, seruling, dan lain sebagainya. Kolaborasi seni dapat diartikan sebagai kerja sama, meskipun berbeda jenisnya, melalui satu tema rapa-i dapat dikombinasikan permainannya dengan alat musik lain, baik alat musik tradisional maupun modern.

Syiar agama
Dalam konteks Aceh, kesenian sebagai bagian dari kebudayaan tidak terlepas dari nilai-nilai budaya, pendidikan, sosial dan agama. Berbeda dengan daerah lain, fungsi kesenian di Aceh bertujuan untuk syiar agama, menanamkan nilai moral kepada masyarakat, dan juga menjelaskan tentang bagaimana hidup dalam masyarakat sosial.
Syiar agama pada permainan rapa-i tampak pada syair-syair yang dilantunkan. Setiap kalimat pembuka pada syair selalu didahului dengan puji-pujian kepada Allah Swt serta shalawat kepada Nabi Muhammad saw.
Begitu pun dengan kalimat pada bagian isi syair juga berisi ajakan untuk beriman kepada ajaran agama Islam, seperti pada isi satu bagian zikir rapa-i, “Nabi neu meuk-reut u langet manyang, geujak teurimong sembahyang hamba 50 wate, nabi neu lakee beu limong sagai”. Potongan zikir rapa-i tersebut menceritakan peristiwa Nabi Muhammad saw menerima perintah untuk melaksanakan ibadah shalat, dan mengingatkan bagi umat Islam untuk selalu melaksanakan shalat sehari semalam lima kali.

Permainan rapa-i mencerminkan kehidupan sosial masyarakat Aceh. Gerakan pemain rapa-i yang heroik menggambarkan semangat dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Rapa-i dimainkan dengan sangat kompak dan disiplin, menggambarkan kerja sama dan tolong-menolong dalam masyarakat dengan patuh pada perintah pemimpin.
Alangkah indahnya jika nilai-nilai yang terkandung dalam rapa-i Aceh dapat kita aplikasikan dengan langkah konkret dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak hanya sebatas teori namun juga diwujudkan dengan kerja nyata. Nah!

* Ahmad Zaki Husaini, alumnus Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry, penulis buku Geografi Islam bersama Hasan Basri M. Nur. Email: ahmadzaki567@gmail.com

Note: Opini ini dimuat dalam rubrik opini harian Serambi Indonesia edisi 24 September 2016 

0 comments so far,add yours