Puluhan warga Rohingya (Myanmar) yang terdampar di Perairan Aceh Besar, Aceh
Puluhan warga Rohingya (Myanmar) yang terdampar di Perairan Aceh Besar, Aceh
Rohingya merupakan salah satu kelompok etnis yang ada di Burma. Burma atau  Myanmar adalah negara mayoritas Budha di kawasan Asia Tenggara, sedangkan agama Islam adalah agama minoritas di sana meskipun Myanmar menduduki posisi ke lima negara berpenduduk muslim terbesar di Asia Tenggara. Penduduk muslim Myanmar terkonsentrasi di Provinsi Rakhine (sebelumnya bernama Arakan), yang terletak di sebelah timur dan bertetangga dengan Bangladesh. Secara geografis, wilayah Arakan agak terasing dan jauh dari Myanmar yang mayoritas Budha. Muslim Arakan sering disebut sebagai orang Rohingya.

Orang Rohingya berbeda dengan orang Myanmar. Perbedaan itu terlihat dalam banyak hal; keturunan (etnis), bahasa, warna kulit, kultur, dan agama. Orang Rohingya berwarna kulit gelap dan beragama Islam, dan wajah mereka mirip orang Bengali (Bangladesh). Etnis Rohingya juga terdapat di bagian timur Bangladesh. Sementara orang Myanmar berkulit putih, bermata sipit dan beragama Budha. Perbedaan-perbedaan mencolok ini menimbulkan klaim dari Myanmar bahwa etnis Rohingya bukan sebagai penduduk asli Myanmar, meskipun mereka sudah mendiami bumi Arakan sejak seribu tahun yang lalu.

Islam sudah masuk ke Arakan sekitar abad ke-7 dan ke-8 yang diperkenalkan oleh saudagar dari Arab dan Persia. Umat Islam Arakan sempat berada di bawah kerajaan sendiri sebelum akhirnya ditaklukkan oleh kerajaan Burma. Inggris kemudiaan melakukan penjajahan atas Burma yang tentu saja termasuk Arakan di dalamnya. Pasca merdeka dari Inggris pada tahun 1948 pemerintah Myanmar pernah mengiming-imingi Arakan akan menjadi sebagai daerah otonomi khusus namum janji manis itu tidak terwujud sampai saat ini. Sebaliknya, perlakuan Myanmar terhadap etnis Rohingya sangat tidak manusiawi, terutama sejak junta militer berkuasa. Mereka tidak diakui sebagai warga negara, tapi dianggap sebagai pendatang ilegal yang tentu saja tidak berhak atas passport, ikut Pemilu dan fasilitas negara lainnya.

Perlakuan diskriminatif dan pelanggaran HAM yang secara terang-terangan dan sistematis dilakukan oleh negara Myanmar terhadap rakyat Rohingya telah memicu konflik berkepanjangan. Warga Budha didukung para biksu sudah berulang kali melakukan penyerangan terhadap warga Rohingya, sehingga memunculkan konflik berdarah. Pembunuhan dan pembakaran pemukiman, sekolah dan pertokoan sudah bukan pemandangan asing di Rohingya. Namun, dunia internasional termasuk lembaga-lembaga yang bergerak di bidang HAM diam membisu, seakan mereka tak melihatnya.

Rakyat Rohingya tampak putus asa. Banyak dari mereka tidak tahan sehingga memutuskan meninggalkan kampung halaman. Pada tahun 2014 dan 2015 gelombang pengungsi Rohingya menerobos lautan untuk mencari tempat hunian baru yang menjanjikan. Mereka terdiri dari anak-anak, wanita hamil dan orang tua menggunakan perahu dengan jumlah penumpang berdesak-desakan, tidak ada tempat untuk duduk apalagi tidur. Perahu-perahu itu terombang-ambing di tengah Samudera Hindia dan Selat Melaka, tanpa makanan, minuman dan obat-obatan. Sebagian dari mereka meninggal dalam perjalanan dan sebagian lagi mengalami kelaparan dan sakit.

Manusia-manusia perahu itu ada yang mengarah ke benua Australia tapi diusir tatkala mendekati pulau Christmas. Ada yang terdampar di pantai barat Aceh, dan tentu saja ada yang tenggelam di tengah Samudera.  Ada pula perahu-perahu yang mengarah ke Malaysia tapi di sana mereka ditolak sebelum merapat dan terpaksa putar haluan ke tengah Selat Melaka. Sebagian dari mereka yang terombang-ambing ada yang terdampar di pantai timur Aceh. Banyak pula yang perahu yang karam dan kemudian diselamatkan oleh nelayan Aceh.

Sepanjang tahun 2015 Aceh bagaikan “surga” bagi pengungsi Rohingya. Oleh pemerintah Aceh mereka ditampung di beberapa titik di Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Aceh Timur, Kota Langsa, Aceh Besar, Sabang dan Nagan Raya. Media-media lokal dan nasional sepanjang tahun 2015 memberitakan tentang keadaan pengungsi Rohingya di Aceh. Masyarakat Aceh yang memiliki rasa solidaritas tinggi ikut membantu mereka dengan cara menggalang dana, menyediakan makanan, pakaian,  memberi pendidikan untuk anak-anak, mengajarkan bahasa Indonesia dan kultur Aceh hingga merapikan penampilan (memangkas rambut, membedaki anak-anak gadis dan sebagainya). Mantan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, merasa haru dan mengapresiasi sikap solider yang ditunjukkan warga Aceh terhadap pengungsi Rohingya (SBY Haru atas Aksi Aceh Menolong Rohingya, Harian Serambi Indonesia, tanggal 17 Agustus 2015). Selengkapnya dapat dibaca pada "Komunitas Muslim di Negara-negara Non-Islam" dalam buku Geografi Islam.

0 comments so far,add yours